Kamis, 28 Mei 2009

Perbedaan Boss dan Staff

Bila boss tetap pada pendapatnya,
itu berarti beliau konsisten.
Bila staff tetap pada pendapatnya,
itu berarti dia keras kepala !


Bila boss berubah-ubah pendapat,
itu berarti beliau flexible.
Bila staff berubah-ubah pendapat,
itu berarti dia plin-plan !

Bila boss bekerja lambat,
itu berarti beliau teliti.
Bila staff bekerja lambat
itu berarti dia tidak 'perform' !

Bila boss bekerja cepat,
itu berarti beliau 'smart'.
Bila staff bekerja cepat,
itu berarti dia terburu-buru !


Bila boss lambat memutuskan,
itu berarti beliau hati-hati.
Bila staff lambat memutuskan,
itu berarti dia 'tel-mi' !

Bila boss mengambil keputusan cepat,
itu berarti beliau berani mengambil keputusan.
Bila staff mengambil keputusan cepat,
itu berarti dia gegabah !

Bila boss terlalu berani ambil resiko,
itu berarti beliau risk-taking.
Bila staff terlalu berani ambil resiko,
itu berarti dia sembrono !

Bila boss tidak berani ambil resiko,
itu berarti beliau 'prudent'.
Bila staff tidak berani ambil resiko,
itu berarti dia tidak berjiwa bisnis !

Bila boss mem-by-pass prosedur,
itu berarti beliau proaktif-inovatif.
Bila staff mem-by-pass prosedur,
itu berarti dia melanggar aturan !

Bila boss curiga terhadap mitra bisnis,
itu berarti beliau waspada.
Bila staff curiga terhadap mitra bisnis,
itu berarti dia negative thinking !

Bila boss menyatakan : " Sulit "
itu berarti beliau prediktif-antisipat if.
Bila staff menyatakan : " Sulit "
itu berarti dia pesimistik !

Bila boss menyatakan : " Mudah "
itu berarti beliau optimis.
Bila staff menyatakan : " Mudah "
itu berarti dia meremehkan masalah !

Bila boss sering keluar kantor,
itu berarti beliau rajin ke customer
Bila staff sering keluar kantor,
itu berarti dia sering kelayapan !

Bila boss sering entertainment,
itu berarti beliau rajin me-lobby customer.
Bila staff sering entertainment,
itu berarti dia menghamburkan anggaran !


Bila boss tidak pernah entertainment,
itu berarti beliau berhemat.
Bila staff tidak pernah entertainment,
itu berarti dia tidak bisa me-lobby customer !

Bila boss men-service atasan,
itu berarti beliau me-lobby.
Bila staff men-service atasan,
itu berarti dia menjilat !

Bila boss sering tidak masuk,
itu berarti beliau kecapaian karena kerja keras.
Bila staff sering tidak masuk,
itu berarti dia pemalas !

Bila boss minta fasilitas mewah,
itu berarti beliau menjaga citra perusahaan.
Bila staff minta fasilitas standar,
itu berarti dia banyak menuntut !

Bila boss membuat tulisan seperti ini,
itu berarti beliau humoris.
Bila staff membuat tulisan seperti ini,
itu berarti dia :
- frustasi
- iri thd karir orang lain
- negative thinking
- provokasi
- tidak tahan banting
- barisan sakit hati
- berpolitik di kantor
- tidak produktif
- tidak sesuai dengan budaya perusahaan

Boss is always right, remember that...

and the LAW OF THE BOSS is :

1. THE BOSS IS ALWAYS RIGHT

2. IF THE BOSS WRONG, SEE NO 1.

10 Sikap Pemacu Karier

Mengapa sebagian orang dapat dengan mudah mencapai posisi teratas di suatu perusahaan, sementara sebagian lagi sulit untuk mendapatkan promosi? Apakah kecerdasan, bakat, serta kekuasaan orang-orang tertentu mudah melesat? Tidak juga. Sikap ternyata lebih berperan. Ikuti sepuluh sikap positif ini, dan yakinlah karier Anda melesat maju.



1. Nasib saya tergantung dari diri saya.
Bila Anda menghabiskan waktu hanya untuk menunggu datangnya mukjizat, maka Anda akan menunggu lama sekali, malah barangkali sia-sia. Seseorang yang sukses selalu melakukan sesuatu, secara baik dan tepat, untuk mewujudkan keinginannya. Anda sebaiknya bergerak dan melakukan sesuatu, cari cara yang baik dan tepat, jangan hanya menunggu. Anda pasti akan berhasil dan berhak untuk mewujudkan impian.

2. Segala sesuatu mungkin saja terjadi.
Anda berpikir tidak mungkin menjadi wakil direktur. Jika demikian, maka Anda memang tidak akan pernah menduduki posisi tersebut. Ingat, jika Anda berpikir tidak bisa, maka Anda tidak akan pernah bisa. Tetapi bila berpikir Anda bisa, maka Anda pasti bisa.

3. Pekerjaan apa pun harus dilakukan dengan baik.
Anda tidak pernah tahu saat Anda diperhatikan atau dinilai. Bila Anda terbiasa melakukan pekerjaan dengan baik dan benar, maka Anda tidak mendapatkan kesulitan untuk menerima tanggung jawab yang lebih besar. Jangan lupa, apa pun yang Anda lakukan, pasti diperhatikan oleh atasan.

4. Menganggap penting setiap orang.
Bila Anda ingin bersikap agresif, Anda pun perlu bersikap baik dengan rekan sekerja serta orang-orang yang berada di sekeliling. Anda keliru kalau menganggap tidak perlu menjalin hubungan baik dengan sekretaris atasan. Bersikaplah sopan dan ramah terhadap orang-orang di sekeliling Anda. Soalnya, kita tidak pernah tahu, sikap baik itu mungkin memegang peranan penting bagi masa depan Anda.

5. Tidak terpaku pada latar belakang pendidikan.
Bila selalu merasa bahwa pekerjaan yang Anda lakukan tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, maka Anda akan menghasilkan pretasi yang buruk. Mungkin pekerjaan yang Anda lakukan tidak terlalu cocok bagi Anda, tetapi seorang profesional yang sukses melakukan tugas yang dibebankan kepadanya dengan sebaik-baiknya tanpa peduli di mana mereka berada.

6. Memiliki jejaring yang kuat.
Pegawai yang sukses memahami dengan baik pentingnya suatu jaringan, baik di dalam maupun di luar kantor. Anda perlu bersikap proaktif untuk mengembangkan hubungan profesional. Ajak dan undang rekan sekerja untuk makan siang di luar. Sesekali, pergilah ke kafe sehabis jam kerja. Bergabunglah dengan yayasan profesional. Kembangkan jaringan profesional demi masa depan Anda.

7. Tidak terpaku pada jam kerja.
Karena Anda bertanggung jawab atas nasib Anda, maka sudah menjadi kewajiban untuk terus mencari jalan dalam memperbaiki profesionalisme Anda. Bersikap sukarela dalam melakukan pekerjaan tambahan, berminat belajar sesuatu yang baru, serta bersedia pulang terlambat untuk membantu sesama rekan sekerja. Pekerja yang sukses tidak hanya bekerja terpaku pada jam kerja, tetapi juga bersedia melakukan lebih agar dirinya terlihat.

8. Kegagalan merupakan kunci sukses
Setiap orang pasti pernah mengalami kegagalan dari waktu ke waktu. Perbedaan antara orang yang sukses dan orang yang gagal adalah bagaimana mereka menghadapi kegagalan yang dialami. Pegawai yang sukses selalu belajar dari kesalahan yang mereka lakukan dan tetap maju.

9. Perlihatkan kemampuan.
Apakah Anda menunggu sampai seseorang melihat bakat dan kemampuan Anda? Mungkin sudah saatnya memperlihatkan kemampuan Anda. Katakan keberhasilan Anda dan apa yang telah Anda lakukan bagi perusahaan. Profesional yang sukses mengerti cara memperlihatkan keberhasilan mereka tanpa terkesan sombong.

10.Tidak pernah berhenti mencari peluang.
Tentu saja ada saat di mana Anda puas dengan pekerjaan yang sedang Anda geluti. Tetapi jangan lupa, profesional yang sukses selalu mencari kesempatan untuk maju dan berkembang. Pasang mata, buka telinga, dan buka wawasan untuk tantangan dan kesempatan baru. Anda tidak pernah tahu, kapan akan mendapatkan sesuatu yang dapat mengubah karier Anda menjadi lebih cemerlang.

Mengelola Waktu atau Energi ?

Dalam sebuah pertemuan bertemakan kepemimpinan, seorang GM dari perusahaan properti raksasa mengeluhkan pekerjaannya yang “overloaded”. Tantangan kerjanya dirasa bertambah memusingkan karena ia harus menservis beberapa atasan dengan kemauan yang berbeda-beda dan berubah-ubah, sementara bawahan pun tidak bisa dilepas. Di balik keluhan teman kita mengenai beban dan tanggung jawab yang bertumpuk ini, sesungguhnya ia mengemukakan pula rasa frustrasi atas tidakberhasilannya mengelola waktu yang hanya 24 jam, agar semua pekerjaan tuntas.



Saat sekarang, di mana hampir semua pekerja dan manajer tidak bisa menghindar dari tuntutan pasar, persaingan dan beban kerja yang bertumpuk, rasanya masalah ‘time-management’ semakin usang untuk dibicarakan, karena hanya orang-orang dengan load sedang saja yang masih bisa memikirkan pengelolaan waktu yang normal. Di jaman “hectic” begini, hampir tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilaksanakan santai-santai. Jam kerja yang seringkali terpaksa diperpanjang pada akhirnya memunculkan gejala jenuh, lelah, letih dan sakit pada para professional di perusahaan yang justru produktif. Saat waktu semakin sulit dikelola, sementara tantangan di depan mata wajib kita garap, di manakah ruang bagi kita untuk menjaga bahkan meningkatkan produktivitas?



Jangan Lupakan Sumber Enerji Paling Canggih: Manusia


Di saat banyak perusahaan menuntut karyawan untuk memperpanjang jam kerjanya di jaman ‘hectic’ begini, teman dekat saya, seorang pimpinan perusahaan, membuat kebijakan mematikan lampu dan pengatur suhu ruangan tepat pukul 8 malam. Jadi, silakan pulang sebelum jam 8 malam. Komentar teman saya, “Waktu tidak akan berubah jumlahnya, tetap 24 jam, tapi enerji manusia berubah-ubah. Energi kita bisa berkurang, bisa berlipat ganda, tergantung pintar-pintar kita mengaturnya.”



Kalau dipikir-pikir, kita umat manusia yang bersibuk dengan konservasi enerji, penghematan enerji dan berinovasi dengan pemanfaatan tenaga surya, panas bumi, nuklir, dan lain-lain, seringkali lupa pada sumber enerji yang paling canggih dimuka bumi ini, yaitu ’MANUSIA’-nya sendiri. Betapa kita tahu bahwa enerji bisa berlipat kalau kita bersemangat, tetapi juga akan kendor bila berada dalam situasi yang tidak kondusif. Betapa banyak “ jokes” dan ejekan sinis terhadap manusia Indonesia yang katanya hemat kerja otak dan hemat tenaga karena banyaknya orang upahan, sehingga pemikiran mengenai enerji pribadi termasuk dalam urutan “buntut”.



Bicara enerji pribadi, kita pasti pernah mengenal seseorang yang ‘tidak ada matinya’ dalam bekerja, berstamina kuat, daya pikir tajam, emosi stabil dan tetap ” enjoy” berkarya di tengah pekerjaannya yang menggunung. Ibarat mesin, kapasitasnya besar dan produktivitasnya tinggi. Teman saya, ketika ditanya darimana saja datangnya enerji tersebut, mengatakan bahwa enerjinya datang dari “passion” dan “keharusan” untuk menggarap hal-hal yang belum selesai atau tidak beres. Semua “pending matters”, tugas, tantangan, dan permintaan dianggap proyek yang harus dituntaskan. “Karena saya betul-betul ingin menuntaskannya, maka saya bergerak”.



Seorang ahli yang memang menyetujui bahwa enerji pribadi memang perlu dikelola, di ‘ strategize’ dan diatur mengatakan bahwa sumber enerji pada manusia ada pada fisik, emosi, pikiran dan spiritnya. Dalam tiap unsur ini enerji dengan mudah bisa direntang tidak berbatas. Agar tidak mudah kehilangan spirit, kita rasanya perlu untuk selalu bertanya pada diri sendiri mengenai apa yang paling penting dalam hidup kita, yaitu nilai-nilai pribadi. Dengan memahami hal yang penting dalam hidup kita, rasanya kita tidak perlu didorong-dorong untuk melakukan tugas kita, sehingga akan lebih hemat enerji.



Enerji Bisa ’Diisi Ulang’


Hal yang saya amati adalah bahwa gejala lesu dan lemah justru sering dialami dan diderita oleh mereka yang tidak rajin berolah raga, tidak gesit dan tidak senang bergerak. Gelaja sering menguap, tidak tenang, sulit berkonsentrasi ini disebabkan karena reservoir enerji kita sedang terkuras. Masalahnya adalah bahwa sebenarnya reservoir ini bisa diisi terus kalau individu menyadari bahwa ia mampu mengisi ulang enerjinya. Kebiasaan seperti berdiri dan menghentikan pekerjaan beberapa menit, sebenarnya melemaskan tidak saja otot tubuh tetapi juga otot-otot yang berada di dalam otak. Itulah sebabnya mengapa ide-ide kreatif biasanya justru muncul pada saat kita tidak menghadapi layar komputer atau kertas kerja kita.



Beberapa teman yang tiba tiba “dicopot” dari jabatannya saya amati bagai orang yang menjadi tidak sabar dan cepat marah. Di sini terbukti bahwa suasana hati atau emosi yang positif benar-benar memproduksi enerji lebih. Ini juga alasan mengapa banyak orang berusaha untuk membina hubungan dengan bawahan dan teman kerja secara lebih kental, agar juga mendapat kesempatan untuk melihat masalah dari berbagai persepsi dengan lebih jelas, logis, dan reflektif.



Waspadai dan Optimalkan Teknologi


Budaya telpon genggam dan pengelolaan beberapa telpon sekaligus tanpa kita sadari membuat “alertness” kita dituntut 24 jam /7 hari. Ini baik untuk beberapa situasi, misalnya budaya servis yang memang dituntut untuk waspada 24 jam. Namun, bagi individu yang kurang mampu mengelola enerjinya melalui media lain, hal ini bisa menyebabkan daya pikirnya tidak pernah beristirahat, sehingga ia sulit berfokus lagi. Ada penelitian yang mengatakan bahwa rapat-rapat yang memperbolehkan pesertanya menghidupkan email dan ponsel akan berlangsung 1-2 jam lebih lama dari yang seharusnya. Jadi sebetulnya, tidak ada salahnya kita meninjau kembali penggunaan ponsel dan komputer kita, misalnya tidak membawa komputer dalam rapat dan tidak menyalakan ponsel selagi bertatap muka. Selain hal ini meredakan fungsi pikir, situasi ini juga membuat kita bisa lebih menikmati tatap muka dan berfokus pada situasi, body language dan proses merespek lawan bicara dan menyimak yang lebih baik.

Bergaul di Lingkungan Kerja

Pergaulan di lingkungan kerja memang berbeda dengan pergaulan di luar lingkungan kerja. Pergaulan di luar kantor umumnya tidak bersifat formil. Karena anda tidak terikat dengan peraturan-peraturan dan prosedur baku. Sedangkan di kantor atau perusahaan, pergaulan lebih bersifat resmi. Apalagi di kantor ada tingkatan jabatan, mulai level terendah sampai level pimpinan.

Sehingga ada peraturan tak tertulis mengenai cara bergaul dengan masing-masing tingkatan. Tentu saja bergaul dengan bos berbeda bila dibanding bergaul dengan rekan sejawat. Begitu pula bergaul dengan bawahan. Terlebih di perusahaan yang sangat birokratis, seperti di pemerintahan, tata cara pergaulan menjadi sangat penting di banding pergaulan di lingkungan perusahaan yang lebih mementingkan kreativitas.

Tetapi nggak perlu bingung. Dimanapun anda berada, anda memang dituntut untuk pandai bergaul. Karena kepiawaian anda bergaul juga merupakan salah satu hal yang mendukung kesuksesan karir anda. Dalam hal ini di lingkungan kerja, anda tidak bisa bersikap sama rata terhadap semua orang. Cara anda menjalin hubungan dengan dengan setiap rekan di kantor sangat bergantung dari konsep diri anda di dalam lingkungan.

Tempatkan diri anda sesuai dengan posisi anda. Tentu saja terhadap bos anda harus memiliki sikap hormat dan respek. Tetapi bukan berarti anda tidak menghormati rekan selevel dengan anda. Karena pada intinya, kunci dalam pergaulan adalah saling menghormati dan menghargai. Sedangkan kepada level di bawah anda, anda juga tidak mesti minta dihormati. Jika anda bisa menghargai dan menghormati orang lain, apapun pangkat dan jabatannya, otomatis orangpun akan menaruh hormat pada anda.

Hanya saja anda bisa lebih santai jika bergaul dan bicara kepada rekan sejawat jika dibanding dengan bos. Terhadap bos atau orang-orang yang lebih tinggi tingkatannya dari anda, anda harus lebih menjaga tata krama dan kaidah yang berlaku, seperti cara bicara dan bertegur sapa. Sedangkan kepada bawahan, anda harus lebih menjaga wibawa tanpa kehilangan sikap familiar anda.

Semakin mampu anda menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja, maka semakin mudah pula anda memenuhi tuntutan pergaulan dalam level manapun. Anda akan lebih rileks dalam menjalin hubungan dengan orang-orang di lingkungan kantor anda. Tentu saja ini menguntungkan anda bukan? Selain anda tidak kesulitan bergaul, anda pun memiliki banyak teman. Sehingga anda tidak akan merasa asing di lingkungan kerja anda sendiri. Dampaknya anda akan lebih 'enjoy' bekerja dan lebih bersemangat merintis karir.

Stop Persaingan di Tempat Kerja

Bagi Anda yang telah bekerja tentu lebih memahami persaingan yang terjadi di tempat kerja. Menjadi yang terbaik di mata pimpinan adalah faktor mutlak yang diperlukan untuk karier seseorang.

Saat ini persaingan dikonotasikan hal yang negatif dan perlu dihindari. Namun, persaingan tidak sesederhana itu. Bersaing dapat dilihat dari dua sisi, sempit dan luas. Bersaing dalam arti sempit
tentu membuat seseorang merasa terancam dan mengganggap saingannya sebagai musuh dalam berbagai hal. Persaingan dalam arti luas tentu lebih mengedepankan jiwa bersaing dalam diri seseorang yang diikuti dengan meningkatnya kualitas kerja seseorang.

Persaingan yang didasari kebencian atau dalam arti sempit tentu tidak akan membuahkan hal yang positif. Anda mungkin memenangkan persaingan, namun hal tersebut tanpa disadari akan memunculkan sifat egois dan sombong. Jika kalah Anda pun tentu menderita dan muncul kedengkian. Lalu harus bagaimana memposisikan persaingan di tempat kerja?


1. Posisikan rekan kerja sebagai sparing partner

Bersaing dengan orang lain hanya boleh dilakukan dalam konteks menjadikan orang lain sebagai "sparing partner", bukan lawan sesungguhnya. Dalam olahraga, sparing partner adalah orang yang
membantu seseorang untuk meningkatkan prestasinya. Begitu pula dalam hidup, menjadikan orang lain sebagai sparing partner dalam bersaing berarti menjadikan orang lain sebagai mitra dalam meningkatkan kualitas seseorang.


Lalu jika rekan kerja Anda bukan pesaing, siapa pesaing sesungguhnya? Pesaing sesungguhnya adalah diri Anda sendiri. Karena sesungguhnya keberhasilan dan kegagalan kita disebabkan oleh diri
sendiri, bukan orang lain. Karena itu, pesaing Anda dalam meraih kesuksesan adalah diri Anda sendiri, bukan orang lain. Anda melawan diri sendiri untuk menang dalam perlombaan meningkatkan kualitas
diri. Ukuran kemenangannya adalah ketika Anda berhasil meningkatkan kualitas diri lebih baik dari hari kemarin.

2. Bersikap sportif

Apa pun yang Anda raih harus dihargai. Tidak ada kata kalah bagi Anda karena kekalahan yang sesungguhnya adalah keputusasaan Anda. Sportif tidak akan ada dalam diri Anda jika tanpa adanya sebuah kata "bijaksana". Anda harus memandang hasil yang diraih dari kacamata yang positif. Introspeksi diri menjadi salah satu tanda bahwa Anda bijaksana dalam menyikapi segala sesuatunya. Milikilah mental bersaing dengan diri sendiri. Jadikan hal ini sebagai kebiasaan Anda. Lawan Anda
sesungguhnya bukan orang lain, tapi diri sendiri. "Perang" yang perlu Anda lakukan adalah "perang" melawan diri sendiri bukan "perang" melawan orang lain.

3. Kerja keras

Persaingan tidak akan berarti tanpa adanya kerja keras dari Anda. Tunjukkan Anda mempunyai kualitas dan kemampuan dalam profesi yang Anda tekuni.

Ada tiga hal penting yang harus Anda perhatikan dalam pekerjaan :
a.. Pertama, terapkan Manajemen Waktu dalam bekerja dengan membiasakan tahapan persiapan.
b.. Kedua, usahakan semua tugas selesai pada waktunya, jika perlu buatlah jadwal yang akan membimbing Anda dalam bekerja.
c.. Dan yang ketiga, perluas pengaruh Anda di tempat kerja dengan memperbanyak relasi dan mencari informasi yang ditujukan untuk pengembangan karier Anda.

Nah, jika Anda termasuk orang yang memperhatikan karier kerja, tiga prinsip mental tersebut tentu patut diperhatikan. Faktor penghambat seperti kebiasaan sering mengeluh harus dibuang jauh-jauh.

mengubah sekolah membangun pendidikan

Sepanjang sejarah sekolah selalu diliputi oleh masalah. Sudah terlalu banyak catatan kritis yang berniat membenahi sistem sekolah mulai dari masalah administrasi, dana sampai ke falsafah pendidikan, sementara terlalu sedikit perubahan yang berarti. Para penguasa modal dan negara melihat sekolah sebagai satu-satunya ruang untuk mencerdaskan bangsa, dan mereka yang tak bersekolah dianggap tidak memberi sumbangan pada pembangunan bangsa. Mereka yang mampu dan memiliki akses menjadi ‘kaum terlepajar’ dan digiring ke menara gading yang semakin jauh dari masyarakatnya, dan akhirnya menjadi pelayan kepentingan modal dan negara. Krisis yang melanda Indonesia membuat sekolah semakin sulit dijamah oleh rakyat miskin, dan semakin banyak pula ‘orang tak berguna’ dalam kacamata penguasa.

Kembali ke Kegunaan Dasar

Dalam situasi sekolah semacam ini perlu juga kita meninjau kembali konsep ‘pendidikan’ secara luas. Selama ini, di bawah bermacam tekanan yang hebat, alternatif terus saja bermunculan. Cukup banyak komunitas yang mengembangkan model pendidikannya sendiri, mendirikan sekolah alternatif untuk mengembalikan pendidikan pada tempat semestinya, dan melawan kesewenangan penguasa dalam pendidikan.

Ada dua wilayah penting yang dijelajahi oleh sekolah-sekolah alternatif sepanjang sejarahnya. Wilayah pertama adalah perkembangan kejiwaan anak didik dalam lingkungannya. Di Amerika Serikat, John Dewey (1859-1952) mendirikan sekolah percobaan melawan model sekolah negara yang menekankan pengembangan intelektualisme dan cenderung verbalistik. Guru besar dari Chicago itu kemudian mengembangkan pendidikan yang menitikberatkan pengembangan kejiwaan dan sosial, karena menurutnya yang terpenting adalah proses setiap individu untuk berkembang di tengah masyarakat. Sekolah yang didasarkan pada filsafat pragmatisnya cukup menonjol, karena memberi pilihan lain dari model-model sekolah sezaman yang berorientasi menjawab pertumbuhan kebutuhan industri belaka.

Sejarah kemudian mencatat upaya dari Jan Lighthart, seorang kepala sekolah menengah di Den Haag, Belanda. Seperti Dewey, ia pun tidak puas dengan metode belajar pasif dan merasa bahwa pendidikan harus membawa anak-anak mengenal persoalan yang berkaitan langsung dengan kehidupannya. Begitu pula dengan Maria Montessori yang terusik melihat pendidikan bagi anak cacat yang hanya terarah pada satu aspek saja. Sebagai kritik ia mengembangkan pendidikan yang membangun motivasi atau kemauan anak, sesuai dengan kodratnya.

Wilayah lain adalah kebudayaan atau hubungan manusia dengan lingkungan secara utuh. Sekolah-sekolah yang bergerak di wilayah ini muncul umumnya di zaman kekuasaan kolonial yang menerapkan sistem pendidikan untuk mengubah anak rakyat tanah jajahan menjadi ‘manusia beradab’ sesuai ukuran penguasa kolonial. Di India, Rabindranath Tagore (1861-1941) mendirikan Shanti Niketan, sebagai perlawanan terhadap pendidikan kolonial Inggris yang hanya ingin menciptakan rakyat jajahan yang penurut dan sedikit ‘terpelajar’.

Sekolah kolonial pun menjadi alat efektif untuk menyaring orang-orang India berbakat untuk mengisi jajaran birokrasi kolonial. Anak didik dijauhkan dari bahasa dan tradisinya sendiri, dan dipaksa mengikuti disiplin dan cara berpikir kolonial Inggris. Mereka yang lulus dan akhirnya mendukung sistem itu, dikenal dengan sebutan Anglicist, adalah pembela utama sistem kolonial secara keseluruhan, dan menganggap penindasan kolonial sebagai hal yang patut diterima oleh rakyat India yang ‘tak beradab’.

Tagore memulai kegiatannya dalam situasi itu. Baginya rakyat tak punya pilihan lain kecuali mengembalikan kepribadian rakyat India pada akar tradisinya sendiri. Ia membangun proses pendidikan menyeluruh, dimulai dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi yang bertolak dari pengalaman para siswa. Sementara dalam pendidikan kolonial anak-anak hanya menjadi obyek dari para guru dan pengambil keputusan, di Shanti Niketan anak-anak diberi keleluasaan mengembangkan diri dan berlaku sebagai subyek pendidikan.

Pendidikan Sebagai Gerakan

Di Indonesia, pendidikan sejak awal dianggap bagian penting dari perjuangan melawan penguasa kolonial. Pikiran itu berkembang setelah timbul kesadaran bahwa kolonialisme mungkin bertahan bukan hanya karena keserakahan dan kejahatan penguasa kolonial, tapi juga karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan rakyat untuk melawan. Sejak akhir abad ke-19 berdiri sekolah-sekolah particulier (swasta) yang diselenggarakan oleh rakyat, karena sistem pendidikan kolonial hanya memberi kesempatan kepada mereka yang mampu dan ‘berguna’.

Secara umum penguasa kolonial tak peduli pada nasib pendidikan bumiputra. Para pejabatnya lebih sibuk menyebar intel untuk meredam gerakan nasionalis ketimbang menyalurkan dana untuk pendidikan. Sekolah-sekolah particulier pada awalnya dibiarkan berkembang bebas, dan dipandang sebelah mata saja.

Adalah van der Meulen, direktur pendidikan pemerintah kolonial yang pertama memberi perhatian serius. Dalam laporannya kepada Gubernur Jenderal Fock, ia menguraikan bahaya dari sekolah particulier yang menyebar nilai-nilai anti-kolonial. Maksudnya tidak lain dari sekolah-sekolah yang dibuka oleh Sarekat Islam pimpinan Tan Malaka dan sekolah-sekolah Tionghoa yang sedang gandrung menyebarkan nilai-nilai gerakan pembebasan di Tiongkok. Sebagai reaksi pada tahun 1921 pemerintah mengumumkan Ordonansi No. 134 yang juga dikenal dengan sebutan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnantie). Dalam keputusan itu pemerintah mewajibkan setiap guru untuk melapor dan memberikan sanksi bagi mereka yang melanggarnya.

Lima tahun kemudian, pemerintah mengeluarkan Ordonansi No. 260 yang memerintahkan guru-guru menutup semua ‘sekolah liar’ karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Semua sekolah yang berhaluan nasionalis menjadi sasaran, dan penindasan pun semakin hebat setelah terjadinya pemberontakan rakyat di Jawa dan Sumatera pada tahun 1926-27.

Tidak banyak sekolah yang bisa bertahan, dan salah satunya adalah perguruan Taman Siswa, yang didirikan 1922 di Yogyakarta. Sementara kaum terpelajar menjadi sasaran represi dan sekolah-sekolah ditutup, Taman Siswa terus bergerak dan tumbuh menjadi lembaga pendidikan terpenting dalam perjuangan nasionalis. Pimpinannya seorang priyayi, Raden Mas Soewardi Soerjaningrat – kemudian berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara – dikenal sebagai tokoh nasionalis yang tajam.

Menjadi bagian dari pergerakan adalah kunci keberhasilan Taman Siswa. Sementara guru-guru bumiputra yang mengajar di sekolah kolonial menolak dan bahkan mengecamnya, di banyak tempat rakyat justru meminta sekolah itu didirikan. Di tengah represi dan pengawasan intel kolonial, Taman Siswa menggelar konperensi besar pertama tahun 1923. Agenda utamanya adalah menetapkan prinsip dasar dan perluasan organisasi. Perguruan yang semula hanya membuka Kindergarten dan sekolah guru itu pun mulai nampak sebagai sebuah gerak kebudayaan yang merambah di berbagai daerah.

Penyadaran Demi Pembebasan

Dalam gerakan pendidikan sepanjang sejarah terbentuk pemahaman umum bahwa pendidikan bukanlah proses transfer pengetahuan apalagi pemaksaan doktrin. Justru sebaliknya, gerakan pendidikan melawan kecenderungan tersebut. Pendidikan di kalangan ini adalah proses pengembangan sikap terhadap lingkungan alam, sosial dan diri sendiri sebagai manusia. Pengetahuan pun bukan barang jadi yang tinggal diterima, tapi sebuah hasil penjelajahan yang memerlukan kreativitas dan kebebasan.

Di sekolah-sekolah rakyat dan alternatif individu adalah subyek dan titik pusat pendidikan. Seluruh paradigma pendidikan otoriter di sekolah tradisional dijungkir-balikkan, karena seperti dikatakan Ivan Illich, di dalamnya individu hanya dijadikan kuda beban atau domba korban yang melayani kepentingan penguasa dan praktek diskriminasi yang menyingkirkan kalangan tak mampupun tak dapat dihindarkan. Baginya sekolah tradisional lebih jauh mengebiri kecerdasan dan menjerat kemanusiaan dalam perangkap mekanik, sehingga tak ada pilihan lain kecuali membangun masyarakat tanpa sekolah.

Untuk mengembangkan dan memperkuat gagasannya Illich aktif dalam Center of Intercultural Documentation (CIDOC) yang didirikan di Mexico tahun 1961. Di sini ia membuat studi dan diskusi-diskusi tentang pendidikan alternatif, di samping memikirkan masalah jumlah anak putus sekolah yang semakin membengkak di seluruh Amerika Latin. Karena tidak ada dana mendirikan sekolah sementara pendidikan sangat diperlukan, Illich mulai berpikir tentang pendidikan rakyat tanpa sekolah yang sesungguhnya hanya membelenggu kemerdekaan berpikir dan berkarya.

Gagasan radikal itu mendapat wujudnya dalam model pendidikan yang dikembangkan Paulo Freire. Titik tolak gagasan Freire adalah kenyataan sosial di Brasil, di mana penindasan bercokol dengan mudah karena ketidaktahuan dan proses pembodohan oleh penguasa. Pada tahun 1960-an ketika ia mulai bergerak, hampir separuh dari 34,5 juta penduduknya buta huruf. Di tengah lautan ketidaktahuan para politisi bermain (dan mempermainkan) rakyat dan akhirnya mampu mempertahankan penindasan yang hebat.

Baginya, pendidikan tak dapat dipisahkan dari penyadaran (conscientizaĆ§Ć£o), yang akhirnya bermuara pada pembebasan. Ia mengkritik metode pemberantasan buta huruf pemerintah yang hanya memperkenalkan abjad kepada para peserta dan akhirnya mempersiapkan orang untuk menjadi pelayan kepentingan penguasa. Baginya pengenalan abjad terkait dengan pembebasan, karena itu program pemberantasan buta hurufnya sekaligus bermaksud membangkitkan kesadaran politik rakyat. Ia mendobrak sistem pendidikan Brasil yang pedantik dan berhenti pada pengetahuan, dengan menyerukan bahwa pendidikan adalah proses belajar untuk bergerak dan bertindak.

Metode itu tentu saja mengganggu kenyamanan penguasa. Kecerdasan rakyat adalah musuh setiap penguasa lalim. Ketika terjadi kudeta, rezim militer yang kemudian berkuasa menuduh metode Freire adalah subversi yang mengancam status quo. Tahun 1964, setelah dipenjara selama 70 hari, ia dibuang ke luar negeri. Selama lima tahun ia terpaksa hidup di pengasingan, dan melanjutkan perjuangan pendidikannya di negeri-negeri Amerika Latin, yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Dalam keadaan carut-marut seperti sekarang, sudah saatnya kita berpikir tentang membangun kembali pendidikan sebagai bagian dari gerakan rakyat. Sudah saatnya pula pemerintah berbesar hati mengakui keterbatasannya, dan mundur dari pengelola yang otoriter menjadi lembaga pemberi fasilitas dan pengakuan kepada usaha-usaha rakyat membangun pendidikannya sendiri. Pengalaman sejarah Indonesia sendiri memperlihatkan bahwa ‘kaum terpelajar’ yang membangun negeri ini bukan hanya mereka yang dididik di sekolah kolonial. Kekuasaan dan kewenangan tidak ada urusan dengan kecerdasan. Karena itu tidak ada salahnya ‘meninggalkan sekolah’ untuk membangun gerakan pendidikan rakyat.

romo mangun tentang pendidikan dasar

Dunia persekolahan tidak mengajar anak didik untuk berpikir, untuk ekspoloratif dan kreatif. Seluruh suasana dan gaya persekolahan adalah penghafalan tanpa pengertian yang memadai, taat kepada komando, sedangkan bertanya apalagi berpikir kritis praktis adalah tabu. Siswa tidak didik tetapi di-drill, dilatih, ditatar, dibekuk agar menjadi penurut - tidak jauh berbeda dari pelatihan binatang-binatang "pintar dan terampil" dalan sirkus. Jikalaupun ia diajari sesuatu, maka sesuatu itu diajarkan tanpa konteks sosial budayanya. Sistem pengajaran semacam itu bagus untuk kaum militer yang memang kodratnya dipersiapkan demi dunia komando didalam keadaan perang, tetapi fatal untuk anak didik yang justru harus bebas untuk bertanya, bahkan berani untuk bertanya karena harus berjiwa eksploratif dalam segala situasi dan kondisi, agar kreatif dan konstruktif nantinya.

Namun, ternyata salah satu masalah sosial budaya yang sangat rawan dan rupa-rupanya menuju ke jurang ialah dunia persekolahan kita. Ini kita catat tanpa menyalahkan pelaku pelaku pendidik serta pengajarnya, khususnya para guru, karena mereka hanya menjalankan politik pendidikan dan pengajaran. Mereka bukan pengambil keputusan dan pengatur siasat dasarnya. Khususnya lagi di jajaran sekolah dasar, karena disinilah dasar dari segala struktur persekolahan diatasnya, maka harus dibangun secara bagus dan berkualitas tinggi. Berbicara ekstrem agar jelas, dapat dikatakan bahwa universitas-universitas maupun sekolah-sekolah lanjutan atas boleh bermutu rendah atau bobrok, akan tetapi sekolah atau lebih tepatnya pendidikan dasar jangan! Kalau dunia sekolah dasar rendah mutunya, maka segala-galanya yang nanti dibangun diatasnya, di perguruan menengah maupun tinggi, akan serba goyah dan hancur berpuing-puing. Seperti atap akan rontok apabila tiang-tiang roboh karena umpak-pondasinya lemah. JIKA DAYA PIKIR DAN SEMANGAT EKSPLORATIF DAN KREATIF BERANTAKAN DARI AKAR-AKARNYA, MAKA APAPUN YANG KITA PERBUAT TIDAK AKAN BERBOBOT DAN SITUASI SOSIAL BUDAYA MENJADI SANGAT RAWAN.